Denganberbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia menjalani hidup sesuai dengan adab-adab yang diterapkan di lingkungan sekitar. Oleh karenanya, manusia harus bersosialisasi dan memenuhi adab-adab yang telah disosialisasikan oleh orang-orang sebelumnya.
Skip to content HomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah Islam 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 1. Ikhlaskan diri karena Allah ﷻ dalam bertanya untuk mengetahui suatu masalah. 2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut perkiraannya yang kuat dia mampu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 3. Memulai pertanyaan dengan salam. “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa saja yang bertanya kepada kalian sebelum dia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya.” [HR. Ibnu an-Najar, hadis dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadis dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816] Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah ﷺ. Maka dipahami, bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan, dan telah menghidupkan Sunnah. 4. Hendaknya memerbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan, dan mengingatkan dari segala kejelekan. 5. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut, dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. 6. Ketika telah selesai menulis pertanyaan, maka sampaikanlah ucapan terima kasih, serta mendoakan ustadz yang nanti akan menjawabnya. 7. Janganlah mengadu domba di antara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz, Fulan telah berkata begini dan begitu.” Dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya, maka hendaknya berkata “Bagaimanakah pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu?” TANPA menyebut nama orang yang mengucapkan. 8. Hendaknya bersabar dalam menunggu jawabannya yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya, atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. 9. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga, atau orang lain, sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Apabila masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu, yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. 10. Hendaknya siapapun yang bertanya tidak marah atau tersinggung ketika sedang diluruskan pemahamannya, atau dari cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah رحمه الله berkata “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mau mengingatkan kekurangan mereka. Akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat membenci kepada orang yang telah mengingatkan kekurangan kita.” [Minhajul Qashidin hal 196] 11. Janganlah bertanya hanya sekadar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan. Atau sekadar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya penanya bertanya kepada seorang ustadz. Karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu dia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya. Dan apabila jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. 12. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz, seandainya ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi رحمه الله berkata “Orang alim ulama/ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja pas dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya, atau karena dia lupa.” [Irsyaad al-Ariif 1/24] Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya, mengapa diri ini yang selalu saja cenderung kepada dosa dan maksiat, serta sulit diajak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya? Padahal saya sudah berusaha keras untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu, dan berdoa kepada Allah taala agar dikuatkan iman. Semoga ustadz dan keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah taala. Penulis Ustadz Najmi Umar Bakkar najmiumar_official Ikuti kami selengkapnya di WhatsApp +61 450 134 878 silakan mendaftar terlebih dahulu Website Facebook Instagram NasihatSahabatCom Telegram Pinterest 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED Related Posts
SusunCara Adab Melayan Tetamu dengan betul. A. Menyediakan tempat duduk yang selesa dan bersih kepada tetamu. B. Menjawab salam tetamu yang datang. C. Bersalaman dan bertanya khabar tetamu. D. Membuka pintu apabila diketuk oleh tetamu. E. Menjemput tetamu masuk ke rumah. answer choices
Sebagai manusia,kita pasti punya banyak pertanyaan yang akan diajukan kepada orang lain. Setidaknya, pertanyaan itu kita ajukan kepada orang yang kita anggap lebih daripada kita sendiri, baik dari segi pengalaman maupun dari segi pengetahuan. Tetapi bisa jadi kita bertanya kepada orang yang baru dikenal, yang sama sekali kita tidak tahu apakah dia bisa menjawab pertanyaan ini atau tidak. Nah, kadang-kadang ini yang menjadi masalah. Oleh karena itu, diperlukan adab dalam bertanya kepada orang lain. Baik yang telah diatur secara adat dan budaya, maupun yang diatur oleh agama. Berikut adalah Adab Orang Bertanya berdasarkan catatan dan pengalaman pribadi 1. Pastinya kita sudah tahu apa yang akan kita tanyakan kepada orang lain. Jangan sampai kita menyusahkan orang lain, karena kita tidak tahu apa yang akan kita tanyakan kepada orang lain. 2. Berilah kata salam atau sedikit basa-basi seperti “maaf, saya ingin bertanya” atau “Assalamualaikum, saya punya pertanyaan”. Walaupun cuma satu atau dua kata, tetapi penting untuk membuka pertanyaan yang lebih sopan. 3. Bertanyalah dengan nada dan intonasi suara yang seolah merendah. Walaupun pertanyaan kita bersifat menguji orang lain, kita harus seolah-olah tidak tahu suatu hal sehingga memungkinkan kita bertanya kepada orang itu. Jangan bertanya dengan nada keras dan memaksa, karena hal tersebut akan memicu perdebatan dan pertengkaran lebih lanjut diantara penanya dan penjawab. 4. Bertanyalah secukupnya, jangan berikan pertanyaan secara bertubi-tubi. Hal tersebut dapat menghilangkan konsentrasi si penjawab, sehingga hal yang ingin kita tanyakan sebenarnya bisa terlewatkan oleh penjawab. Bertanya secara bertubi-tubi juga menyebabkan orang lain jengkel dan tidak suka kepada kita. 5. Dalam forum resmi tertentu, bertanyalah saat diberi waktu untuk bertanya. Jika kita takut lupa atas pertanyaan yang ingin kita ajukan, catatlah pertanyaan itu dan kemukakan pertanyaan itu saat waktu bertanya. Bertanya saat presentasi berlangsung, dapat mengganggu jalannya presentasi dan dapat membuyarkan konsentrasi si presentator 6. Jangan lupa berikan kalimat tanya. Beberapa orang jamn sekarang, hanya bertanya menggunakan kalimat berita, bahkan dengan kalimat perintah. Kalimat tanya digunakan agar pertanyaan kita tersampaikan dengan jelas. Juga menjadikan pertanyaan kita lebih berbobot untuk dijawab. Itulah sekilas catatan saya tentang adab kita dalam bertanya. Catatan ini saya dapatkan berdasarkan pengalaman pribadi serta pengamatan saya terhadap orang-orang yang bertanya. Semoga bermanfaat.
ViewAdab Dalam AA 1*Adab Dalam Bertanya* Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya, ون َ ف َْسئَل ُوا أ َ ْه َل ال إ ّذك إْر إإنAgama Islam adalah agama yang penuh adab dan akhlak. Salah satu yang diatur adalah adab bertanya kepada guru. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan 1. Tidak terburu-buru menagih jawaban Contoh ketika SMS/WA “Ustadz, tolong jelaskan hukum shalat ini beserta dalilnya dan rinciannya, kalau bisa cepat dibalas ustadz, ini sedang membuat bantahan” Mungkin jawabannya “Silahkan buka buku sifat shalat” Perlu dipahami bahwa guru kita juga banyak urusan dan bisa jadi terbatas ilmu dan waktu. Agar mendapat ilmu yang berkah tidak boleh tergesa-gesa dan harus beradab dengan guru.[1] 2. Tidak bertanya yang bisa “mengadu domba” Contohnya di suatu majelis ilmu sesi tanya jawab, Fulan Ustadz, apa hukumnya ini? Ustadz Hukumnya mubah Fulan Tapi ustadz A berpendapat haram ustadz ! Ini bukan adab yang baik dan bisa membenturkan pendapat ustadz tersebut karena mereka sezaman dan selevel. Berbeda halnya jika ia membawa dalil berupa hadits atau perkataan ulama berbeda zaman, ini tidaklah mengapa 3. Tidak terlalu banyak bertanya yang tidak perlu dan fakta itu belum terjadi contoh Fulan Kalau di bulan arah kiblatnya ke mana? Apa hukum makan daging dinosaurus? Mungkin jawabannya Tolong SMS saya kalau kamu sudah di bulan ya. Terlalu banyak bertanya seperti ini adalah sebab kehancuran umat terdahulu sebagaimana dalam hadits [2] Semisal pertanyaan Bani Israil mengenai sapi apa yang harus disembelih sebagai qurban, mereka banyak bertanya ciri-cirinya akhirnya memberatkan mereka 4. Bertanya untuk melawan dan mendebat Bertanya dengan pertanyaan menjebak atau untuk memancing saja bukan untuk mencari jawaban atau diskusi Ibnul Qayyim menjelaskan menuntut ilmu itu bukan untuk melawan, ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً “Jika anda duduk bersama seorang alim ahli ilmu maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” [3] Inilah yang dimaksud hadits orang yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di depan ulama dan mendebat orang bodoh [4] Demikian semoga bermanfaat Yogyakarta Tercinta Penyusun Raehanul Bahraen Artikel Catatan kaki [1] Az-Zuhry menjelaskan pentingnya adab dan lemah lembut dalam menuntut ilmu, ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻠﻄﻔﻪ ﻓﻜﺎﻥ ﻳﻌﺰﻩ ﻋﺰﺍ “Dahulu Ubaidullah yakni bin Abdullah bin Utbah, seorang tabi’in berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau memuliakannya dengan memberinya ilmu yang banyak” Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250 [2] Hadits berikut, ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﻣَﺴَﺎﺋِﻠِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺧْﺘِﻼَﻓُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ “Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [HR. Bukhari dan Muslim] [3] Miftah Daris Sa’adah 1/168 [4] Hadits berikut, ﻣﻦ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺠﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻟﻴﻤﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﺼﺮﻑ ﺑﻪ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” HR. At-Tirmidzy 5/32 dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany1 ilmu tentang Allah, asma’ dan sifat-Nya serta hal-hal yang berhubungan dengannya, sebagai contoh : Allah ta’alla menurunkan surat al ikhlas dan ayat kursi serta ayat-ayat yang lain. 2. Ilmu tentang apa-apa yag telah dikabarkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengenai perkara-perkara yang telah lalu dan yang akan datang, juga apa-apa yang bakal
◾ 12 Adab Bertanya Di Sosial Media ◾ Ikhlaskanlah diri karena Allah dalam bertanya, dan niatkan itu sebagai ibadah. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut dugaannya yang kuat ia mampu untuk menjawab pertanyaan. Memulai pertanyaan dengan salam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa yang bertanya kepada kalian sebelum ia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya” HR. Ibnu an-Najar, hadits dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadits dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816 Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka dipahami bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan dan telah menghidupkan sunnah. Hendaknya memperbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan dan mengingatkan dari segala kejelekan. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. Ketika telah selesai menulis pertanyaan maka sampaikan perkataan terima kasih, dan mendoakan ustadz yang akan menjawabnya. Janganlah mengadu domba diantara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz fulan telah berkata begini dan begitu”, dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya maka hendaknya berkata “Bagaimana pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu ?” Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan Hendaknya bersabar dalam menunggu jawaban yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga atau orang lain sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Jika masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. Hendaknya penanya tidak marah atau tersinggung ketika diluruskan pemahamannya atau cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata وقد كان السلف يحبون من ينبههم على عيوبهم ونحن الآن في الغالب أبغض الناس إلينا من يعرفنا عيوبنا ! Janganlah bertanya hanya sekedar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan, atau sekedar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya, penanya bertanya kepada seorang ustadz, karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu ia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya, dan jika jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mengingatkan kekurangan mereka, akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat benci kepada orang yang mengingatkan kekurangan kita” Minhajul Qashidin hal 196. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz jika ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi rahimahullah berkata “Orang alim ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya atau karena dia lupa” Irsyaad al-Ariif 1/24. Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya mengapa diri ini selalu cenderung kepada dosa dan maksiat serta sulit diajak untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, padahal saya sudah berusaha untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu dan berdoa kepada Allah agar dikuatkan iman ? Semoga ustadz beserta keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah Ta’ala. شكرا و جزاك الله خيرا ✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar
Крուк մօγеβυ
Է оклуδаք θ
ELEMEN-ELEMEN UTAMA ADAB TERHADAP GURU: 1. Memberi salam kepada guru. Menjawab dengan sopan apabila guru bertanya. 5. Sentiasa mendengar nasihat guru. 6. Tidak boleh berbohong kepada guru. Dicatat oleh niza78 di 6:13 PTG 8 ulasan: E-melkan Ini BlogThis! Kongsi ke Twitter Kongsi ke Facebook Kongsi ke Pinterest. Selasa, 20 Disember 2011.sumber jawab adalah hal yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika kita bertanya ke guru dan dosen kita atau ketika bertanya arah jalan ke orang asing di jalan, dan sebagainya. Kalau kita tidak tahu, kita bertanya ke yang lebih tahu. Kalau kita lebih tahu, maka kita memberi ilmu kepada yang belum tahu. Nah, ternyata dalam melakukan kegiatan tanya jawab, kita tidak boleh sembarangan, ada adab yang perlu diperhatikan dalam bertanya dan menjawab. Dalam Islam kita mengenal yang namanya akhlak. Saat kita bertanya pada seseorang, mereka berkedudukan sebagai alim dan kita sebagai fakir dalam hal ilmu. Allah berfirman mengenai hal iniفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَArtinya “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” QS. An-Nahl ayat 43Sering kita lihat di media sosial, orang yang bertanya meninggalkan prinsip akhlak dengan cara meremehkan jawaban karena dirasa tidak berbobot. Sedangkan yang menjawab pun meninggalkan prinsip ilmu, merasa jawabannya sudah paling sedikit cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi kita, dari penulis buku "Ngaji Fikih" yang ketika itu beliau sedang mengantre giliran untuk bertanya di rumah Gus Dur. Kemudian beliau bertanya mengenai sejumlah fatwa NU. Jawaban dari Gus Dur justru tidak terduga, “Tanyakan saja hal tersebut kepada Said Aqil Siradj!”Dengan penuh hormat beliau memilih untuk mundur setelah mendapat jawaban tersebut. Lalu datanglah Nusron Wahid yang bertanya pada Gus Dur mengenai suatu peristiwa di Indonesia, Gus Dur kemudian menjawab, “Saya tidak tahu, jangan tanya saya soal itu!”Nah, kira-kira itulah gambaran ketika kiai memberi jawaban. Mereka enggan merasa paling tahu akan suatu hal, sehingga memilih untuk mengaku bahwa mereka kurang bagaimana adab untuk orang yang mengajukan pertanyaan? Pertama, kita harus berprinsip bahwa ketika kita bertanya secara tatap muka maupun lewat media sosial, artinya kita sedang meminta dan menyita waktu seseorang untuk memberi jawaban ke kita. Jadi, jangan terburu-buru untuk menagih jawaban dari mereka. Kedua, kita tidak boleh memaksa apabila seseorang tidak menjawab, mungkin saja mereka memiliki kesibukan lain sehingga tidak sempat untuk memberi jawaban. Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan kita. Menjawab pertanyaan adalah sedekah, karena telah membantu orang lain yang awalnya belum tahu menjadi apa pun jawaban yang diberikan, syukuri dan hargai itu. Meski jawabannya singkat, atau mungkin kita tidak cocok dengan jawaban tersebut, tetap saja kita harus menjaga akhlak dan adab kita sebagai penanya. Jangan marah-marah kalau kita tidak puas dengan jawaban tersebut. Kalau memang belum puas dengan jawaban tersebut, boleh saja untuk menanyakan pada orang lain yang kita bertanya kepada seseorang itu berarti kita percaya bahwa mereka lebih tahu tentang hal tersebut. Jangan bersikap seolah-olah kita lebih paham kemudian mengajak debat dengan Qayyim pernah menjelaskanﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً“Jika anda duduk bersama seorang ahli ilmu, maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan.”Memang, kritis dalam bertanya itu perlu tapi harus diterapkan konsep sopan santun juga dalam bertanya. Kalau memang kita tidak mempercayai jawaban mereka, kenapa kita bertanya?Kelima, jangan membanding-bandingkan jawaban seseorang di depan orang yang menjawab pertanyaan kita. Misalnya ketika seseorang menjawab pertanyaan kita, lalu kita membalas, “tapi pendapatmu berbeda dengan si A”. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Bahkan, seorang kiai pun bisa saja berselisih pendapat antara satu sama lain! Maka, kita bisa tampung dulu jawaban-jawaban yang berbeda tersebut, lalu tanyakan pendapat orang lain lagi, jadi kita bisa tahu mana pendapat yang lebih kuat dan lebih sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada prinsip akhlak dalam Islam, sudah kewajiban kita untuk melakukan kegiatan tanya jawab. Berbagi ilmu walaupun sedikit saja pahalanya besar. Salah satu hadis riwayat Bukhari, dari Abdullah bin Amr, Nabi Muhammad SAW. bersabda “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat."Referensi/Daftar PustakaPostedon 1 November 20188 Februari 2021 by Baitul Maqdis. “SIAPAKAH YANG MENCIPTAKAN ALLAH?” (cara menjawab pertanyaan seorang Atheis) Seorang Atheis yang memasuki sebuah masjid, dia mengajukan 3 pertanyaan yang hanya boleh dijawab dengan akal. Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikut Agama Berikut ini nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafizhahullah– tentang adab-adab bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama, ustadz, thalibul ilmi, atau orang-orang yang dipercayai keilmuannya. Penjelasan ini beliau sampaikan secara lisan dalam sebuah ceramahnya. Beliau berkataAda beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar –Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, diantaranyaPersiapkan pertanyaan dengan baik Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah keraguan lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, langsung ia menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab “Saya tidak tahu“.Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?Memperhatikan waktu ahli ilmu Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, jangan anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjurkan untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril Alaihissalam bertanya kepada Nabi “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan bertanya yang sudah diketahui Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu tugas seorang anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirmanفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak tahu” Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulamaينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه“Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya”Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibatMembuang-buang waktu orang alimDapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari bebanDari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang untuk diri sendiri Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’ demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks terburu-buru minta dijawab dengan segera Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah penjelasan tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil rincian, dalil pendalilan lain, ta’lil sisi alasan lain, atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, secara ringkas”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.
. 193474202211224496314294